Kali ini saya sekadar ingin berbagi cerita mengenai keterkejutan saya soal bagaimana seorang tukang ojek melakukan rekayasa keuangan (financial engineering). Sebagai catatan awal, saya tidak ingin memberikan penilaian (judgment) moral apa pun atas orang yang saya ceritakan berikut ini. Cerita ini saya sodorkan sekadar untuk berbagi bahwa mereka yang secara umum dipandang dengan sebelah mata sekalipun ternyata memiliki kecerdasan keuangan sekelas dengan mereka yang namanya menghiasi halaman-halaman koran ekonomi.
Sekitar November tahun silam saya memesan tukang ojek langganan, Pak Nikmat namanya, via telepon. Saya harus berangkat ke studio kerja (yang masih berada di kompleks yang sama dengan tempat tinggal saya) dengan ojek, tidak dengan sepeda seperti biasanya, karena harus membawa buku dalam jumlah yang cukup banyak.
Kurang dari lima menit setelah ditelepon Pak Nikmat datang, kali ini dengan sepeda motor baru merek Jepang buatan dalam negeri. “Wah, baru nih Pak, motornya…,” saya membuka pembicaraan.
“Ah, cuma barang gadean, Pak…,” dia menjawab dengan mimik biasanya, malu-malu.
“Lho, barang baru ada yang gadein?” saya sampaikan rasa penasaran saya.
“Orangnya memang seneng begitu, Pak.”
“Maksudnya?”
“Kredit motor, terus digadein…”
Saya penasaran. Jadi setelah nangkring di sadel bagian belakang motornya saya terus mencoba mengorek apa yang dimaksud dengan “orangnya senang begitu… kredit motor terus digadein”.
Dalam perjalanan ojek yang tidak terlalu lama itu saya berhasil mengorek sejumlah informasi dari Pak Nikmat, informasi yang membuat saya geleng kepala, mengagumi cara kerja orang yang disebutnya sebagai temannya itu.
“Orangnya nembak dua tingkat Pak…,” katanya memulai cerita. Menurut dia, teman itu, sebut saja Udin Peang, mengambil kredit sepeda motor dengan “modal” uang muka Rp500.000. Setelah motor didapat, dia tidak langsung menggunakan motor itu, tetapi menggadaikannya pada Pak Nikmat seharga tiga juta rupiah. Uniknya, uang gadai ini nilainya tetap, tapi periodenya fleksibel. Sang empunya motor boleh mengambil motornya kapan saja dengan uang tiga juta rupiah. Loh, kok tanpa bunga? “Kan saya sudah pakai motor ini. Kalau dianggurin memang rugi, tapi kalau buat ngojek ya enggak, Pak…”
Itu tembakan tingkat satu.
Tembakan tingkat duanya adalah, dari uang gadai tiga juta itu dia mengambil yang satu juta rupiah untuk membeli dua sepeda motor lainnya. Anda tahu apa yang dilakukannya kemudian? Dua sepeda motor baru itu “dikaryakan” pada adik dan sepupunya dengan setoran harian. Menurut perhitungan Pak Nikmat, setoran dari dua sepeda motor ini cukup untuk membayar cicilan tiga sepeda motor sekaligus setiap bulan.
“Dia sendiri ngapain sekarang?”
“Dia nggak ngojek lagi, Pak… Katanya sih mau jualan bakso. Bakso sama bumbu jadi dia ambil dari Cileduk pakai modal yang dua juta itu…”
Saya tidak bisa bertanya lebih lanjut karena saya sudah sampai ke tempat kerja saya. Tetapi saya dibuat termangu-mangu untuk waktu yang lama. Bahkan seringkali, terutama ketika menulis artikel keuangan, saya selalu teringat pada cerita Pak Nikmat. Ada rasa penasaran ingin berkenalan dengan sang financial-engineer tersebut. Tetapi, saya menunda keinginan itu karena pelajarannya sudah bisa dirumuskan:
(1) Ternyata modal kecil bukan masalah,
(2) Jangan sepelekan kecerdasan finansial “orang kecil”,
(3) Kecerdasan finansial hanya akan efektif kalau disertai dengan keberanian dan aksi.
Bayangkan, dengan modal lima ratus ribu rupiah ada tiga sepeda motor yang produktif, ada tiga pengojek mendapat kesempatan kerja, dan ada satu warung bakso (entah berapa pun skalanya) dengan minimal satu tenaga kerja. Ck…ck…ck....
Sekitar November tahun silam saya memesan tukang ojek langganan, Pak Nikmat namanya, via telepon. Saya harus berangkat ke studio kerja (yang masih berada di kompleks yang sama dengan tempat tinggal saya) dengan ojek, tidak dengan sepeda seperti biasanya, karena harus membawa buku dalam jumlah yang cukup banyak.
Kurang dari lima menit setelah ditelepon Pak Nikmat datang, kali ini dengan sepeda motor baru merek Jepang buatan dalam negeri. “Wah, baru nih Pak, motornya…,” saya membuka pembicaraan.
“Ah, cuma barang gadean, Pak…,” dia menjawab dengan mimik biasanya, malu-malu.
“Lho, barang baru ada yang gadein?” saya sampaikan rasa penasaran saya.
“Orangnya memang seneng begitu, Pak.”
“Maksudnya?”
“Kredit motor, terus digadein…”
Saya penasaran. Jadi setelah nangkring di sadel bagian belakang motornya saya terus mencoba mengorek apa yang dimaksud dengan “orangnya senang begitu… kredit motor terus digadein”.
Dalam perjalanan ojek yang tidak terlalu lama itu saya berhasil mengorek sejumlah informasi dari Pak Nikmat, informasi yang membuat saya geleng kepala, mengagumi cara kerja orang yang disebutnya sebagai temannya itu.
“Orangnya nembak dua tingkat Pak…,” katanya memulai cerita. Menurut dia, teman itu, sebut saja Udin Peang, mengambil kredit sepeda motor dengan “modal” uang muka Rp500.000. Setelah motor didapat, dia tidak langsung menggunakan motor itu, tetapi menggadaikannya pada Pak Nikmat seharga tiga juta rupiah. Uniknya, uang gadai ini nilainya tetap, tapi periodenya fleksibel. Sang empunya motor boleh mengambil motornya kapan saja dengan uang tiga juta rupiah. Loh, kok tanpa bunga? “Kan saya sudah pakai motor ini. Kalau dianggurin memang rugi, tapi kalau buat ngojek ya enggak, Pak…”
Itu tembakan tingkat satu.
Tembakan tingkat duanya adalah, dari uang gadai tiga juta itu dia mengambil yang satu juta rupiah untuk membeli dua sepeda motor lainnya. Anda tahu apa yang dilakukannya kemudian? Dua sepeda motor baru itu “dikaryakan” pada adik dan sepupunya dengan setoran harian. Menurut perhitungan Pak Nikmat, setoran dari dua sepeda motor ini cukup untuk membayar cicilan tiga sepeda motor sekaligus setiap bulan.
“Dia sendiri ngapain sekarang?”
“Dia nggak ngojek lagi, Pak… Katanya sih mau jualan bakso. Bakso sama bumbu jadi dia ambil dari Cileduk pakai modal yang dua juta itu…”
Saya tidak bisa bertanya lebih lanjut karena saya sudah sampai ke tempat kerja saya. Tetapi saya dibuat termangu-mangu untuk waktu yang lama. Bahkan seringkali, terutama ketika menulis artikel keuangan, saya selalu teringat pada cerita Pak Nikmat. Ada rasa penasaran ingin berkenalan dengan sang financial-engineer tersebut. Tetapi, saya menunda keinginan itu karena pelajarannya sudah bisa dirumuskan:
(1) Ternyata modal kecil bukan masalah,
(2) Jangan sepelekan kecerdasan finansial “orang kecil”,
(3) Kecerdasan finansial hanya akan efektif kalau disertai dengan keberanian dan aksi.
Bayangkan, dengan modal lima ratus ribu rupiah ada tiga sepeda motor yang produktif, ada tiga pengojek mendapat kesempatan kerja, dan ada satu warung bakso (entah berapa pun skalanya) dengan minimal satu tenaga kerja. Ck…ck…ck....
by Her Suharyanto, editor ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar